Inilah Penjelasan Pihak Kemenkominfo Terkait Pemblokiran Akses Aplikasi Telegram





Penjelasan Kemenkominfo terkait pemblokiran aplikasi Telegram

Berdasarkan temuan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dan Kementerian/Lembaga terkait telah ditemukan konten-konten yang tidak sesuai dengan perundang-undangan terutama konten yang menyangkut penyebaran radikalisme dan terorisme. Untuk itu Kemenkominfo mengirim permohonan kepada pihak Telegram untuk membersihkan konten-konten tersebut dari seluruh kanal yang difasilitasi oleh pihak Telegram.

Komunikasi telah dilakukan dengan mengirim email sebanyak enam kali sejak 29 Maret 2016 sampai 11 Juli 2017 kepada pihak Telegram. Semua email tersebut telah terkirim dan diterima oleh pihak Telegram namun seluruh permintaan tersebut belum mendapatkan respons.

Keputusan untuk melakukan pemblokiran terhadap ribuan konten Telegram dilaksanakan setelah mempertimbangkan ketiadaan niat baik dari Telegram, sejak dikirimkan email ke-6 dari hari Selasa tanggal 11 Juli 2017 s.d. Kamis malam tanggal 13 Juli 2017. Dengan tidak adanya tanggapan dari pihak Telegram maka Kemenkominfo memutuskan untuk melakukan pemblokiran terhadap layanan Telegram versi web yang berisi ribuan konten radikalisme dan terorisme.

Kemenkominfo pada tanggal 14 Juli 2017 pukul 11.30 memerintahkan kepada seluruh Internet Service Provider (ISP) untuk memblokir 11 Domain Name System (DNS) terkait dengan layanan Telegram berbasis web. Sebelum mengambil keputusan untuk memblokir, Kemenkominfo sekali lagi melakukan koordinasi dengan seluruh stakeholders yang menangani isu radikalisme dan terorisme.

Statement CEO Telegram
Pada hari Minggu tanggal 16 Juli 2017 pukul 07.00 WIB, CEO Telegram atas nama tim Telegram menyampaikan permohonan maaf dan mengakui telah menerima email komunikasi dari Kemenkominfo meski sebelumnya mengatakan belum menerima email laporan dari Kemenkominfo. Selanjutnya CEO Telegram berkomitmen untuk membuka jalur komunikasi dengan Kemenkominfo.

Menteri Kominfo Rudiantara menyampaikan,
“Saya sudah menerima email mengenai permintaan maaf dari Pavel Durov, CEO Telegram, rupanya dia tidak menyadari adanya beberapa kali permintaan dari Kemenkominfo sejak 2016. Durov telah menindaklanjuti yang diminta oleh Kemenkominfo dan mengusulkan komunikasi khusus untuk proses penanganan konten negatif khususnya radikalisme/terorisme. Saya mengapresiasi respon dari Pavel Durov tersebut dan Kemenkominfo akan menindakanjuti secepatnya dari sisi teknis detail agar SOP bisa segera diimplementasikan.”

Berdasarkan pernyataan CEO Telegram tersebut, Kemenkominfo menindaklanjuti dengan memberi jawaban untuk meminta pihak telegram menyiapkan tim teknis dan administrasi guna mendukung proses komunikasi dan koordinasi secara lebih intens. Kemenkominfo sangat menghargai tanggapan, niat, dan keinginan Telegram untuk membangun kerjasama dengan Kemenkominfo.

Langkah Tindak Lanjut
Setelah diterimanya komunikasi dari Telegram kepada Menteri Kominfo, maka segera dilakukan tindak lanjut berupa penyiapan SOP secara teknis (proses, SDM, organisasi dsb);
- Kemungkinan dibuatnya Government Channel agar komunikasi dengan Kemenkominfo lebih cepat dan efisien.
- Kemenkominfo akan meminta diberikan otoritas sebagai Trusted Flagger terhadap akun atau kanal dalam layanan Telegram.
- Kemenkominfo akan meminta Telegram membuka perwakilan di Indonesia.
- Untuk proses tata kelola penapisan konten, Kemenkominfo terus melakukan perbaikan baik proses, pengorganisasian, teknis, maupun SDM.

Kebijakan untuk melakukan penapisan konten radikalisme dan terorisme merupakan tindak lanjut dari penanganan terhadap isu-isu yang mengancam keamanan negara terlebih mulai terjadinya perubahan geopolitik dan geostrategis di Asia Tenggara terutama peristiwa yang terjadi di kota Marawi, Filipina Selatan. Isu keamanan negara menjadi perhatian Presiden secara khusus dan Presiden mendukung untuk melakukan penindakan terhadap konten-konten yang bisa mengancam keamanan negara. (Biro Humas Kemenkominfo)

--------

Baca info-info seputarbandungraya.com lainnya di GOOGLE NEWS