Cerita Pendek: Pluto untuk Rinta





Cerpen siswi SMAN 1 Banjaran

Di kompleksku, setiap malam Minggu ada kelas mendongeng yang didirikan oleh Lak Chiko.
Ia baik sekali, selain rela meluangkan waktunya untuk mendongeng kepada anak-anak SD. Ia
juga rela mengorbankan tembok ruangan mendongeng untuk kami habisi dengan berbagai
imajinasi yang ada di otak kami.

Berbeda dengan orang tuaku setiap melihatku memegang alat tulis lalu menempelkannya ke tembok, ingat baru menempelkan! Ibu pasti mengomeliku dan ayah tentu membelanya, berbeda dengan Kak Chiko yang malah tersenyum dan berkata, “anggap saja ruang mendongeng ini Mars.”

“Kok gitu kak?” tanya salah satu anak
“Berarti kakak alien dong,” aku nyeletuk dan spontan anak lain memandangiku yang kubalas
dengan cengiran.
“Hehehe bukan begitu Rinta, jika media menggambar kalian di bumi itu kertas dan kalian pasti
Dilarang menggambar di tembok karena kakak yakin gambar kalian pasti jelek-jelek,”
“Huuu,” kami protes.
“Kakak benar kan? Jadi kakak balik peraturannya. Di sini kalian harus menggambar di tembok. Tapi ingat! Jangan sekali-kali menggambar atau menulis di buku cerita yang ada di ruangan ini.”

Dan aku yakin kebanyakan dari teman-temanku pasti dilarang oleh orang tuanya menggambar di tembok. Lalu mereka menjadikan ruangan mendongeng Kak Chiko sebagai pelarian.

Malam ini kami sangat bersemangat, karena Kak Chiko berjanji sesi dongeng kali ini diliburkan dan diganti dengan sesi melukis. Dia juga mendatangkan cat tembok dan alat lukis lengkap dengan gurunya yang seingatku namanya Kak Cinta.

Tanpa babibu kami berbondong-bondong berlari menuju rumah Kak Chiko. Di sana ia sudah menyambut kami di depan gerbang rumahnya dan tunggu, kali ini ia tidak sendiri, di sisinya ada perempuan jangkung yang tersenyum lebar menyambut kami.

Di dalam ruangan mendongeng, perempuan yang bersama Kak Chiko tadi memperkenalkan dirinya dan ternyata namanya Kak Chintia. Dia mahasiswi seni rupa dan dia temannya Kak Chiko di kampus. Soal nama sepertinya ingatanku yang salah tadi. Setelah memperkenalkan diri, Kak Chintia dan Kak Chiko membagi kami menjadi beberapa kelompok sesuai cita-cita.

“Oke kalian udah kenal sama Kak Chintia, sekarang Kakak pengen tau apa cita-cita kalian. Mulai dari Retno, apa cita-cita kamu?’ Kak Chiko bertanya pada anak laki-laki botak yang duduk paling ujung.
 “Tentara Kak. Membak orang jahat aja berani, apalagi nembak cewek”
Karena sebagian dari kami sudah beranjak remaja dan sebagian lagi masih anak-anak, jadi sebagian anak rertawa dan sebagian lagi bingung, termasuk aku‘masa cewek ditembak? Mati dong.
“Aduuh siapa yang ngajarin kamu cinta-cintaan? Adek-adek kamu masih polos tau. Tuh lihat Dimas aja bingung sampe bibirnya  nggak mau mingkem,” pandangan kami seketika beralih ke Dimas dan menertawakannya, lalu dibalas dengan cengiran bodoh olehnya.
“Gak tau nih Kak. Retno makin tua malah jadi bucin,” celetuk Kkak Sinta, teman sekelas Kak Retno.
“Bucin itu apa, Kak?” tanya Ade, ia baru kelas 2 SD sekarang.
“Kakak harus baca kamus anak muda dulu baru bisa jawab. Sekarang kembali ke laaap...”
“toooop....!” kami menjawab serentak meniru acara Om Tukul.
“Cita-cita kamu apa, Rinta?” Kak Chiko bertanya kepadaku.
“Menjadikan Pluto dianggap lagi jadi planet, Kak,” seketika mereka menatapku bingung.
“Iya Kak, soalnya gak dianggap itu sakit,” tiba-tiba Lak Chintia nyeletuk.
“Gak nyangka penyakit Retno gampang nularmya. Tanggung jawab noh... Kak Tia baru dateng udah sakit aja gara-gara kamu,” Kak Chiko menyalahkan Retno.
“Lah, Kak Tia yang maling jambu kenapa aku kena azabnya,?” Retno tidak terima.
"Sudah-sudah daripada makan waktu, kita mulai aja ngelukisnya. Yang cita-citanya jadi dokter dan di bidang kesehatan boleh melukis di tembok sebelah kiri Kakak. Bidang kemiliteran di sebelah kanan kakak. Pilot dan astronot di tembok belakang," Kak Chintia memberi instruksi.
"Aku di mana Kak?" aku bertanya.
Kak Chintia tampak tersenyum,
"Kamu gabung di tembok belakang, ya?"

Setelah itu semua anak mengambil posisi sesuai cita-citanya masing-masing.
"Sebelum menggambar kalian tentukan dulu kerangkanya mau seperti apa? Kalian mau menggambar apa? Gambar dulu di kertas untuk mengurangi kegagalan," Kak Chintia memberikan arahan kepada kelompokku.
"Gambar bandara aja, Kak" Helmi memberi usul.
"Cita-citaku astronot, masa astronot ada di bandara?" Rendi protes
"Gimana kalo kita gambar tata surya?" Kak Restu memberi usul.
"Lah, masa pilot pergi ke ruang angkasa? Emang mau nganterin alien?" Kak Helmi ganti protes.
"Ya udah, gambar tata surya yang ada kapal terbangnya aja," aku memberi usul.
"Gak nyambung dong?" kata Rendi.
"Kalo magnet yang berbeda kutub aja bisa bersatu, masa kita masih masalahin perbedaan?" Kak Restu membelaku dan akhirnya kami sepakat dengan pendapatku.

Setelahi tu, Kak Helmi mulai menggambar di kertas,
"Kak Helmi, kenapa planetnya cuma ada delapan? Plutonya mana?" Aku protes pada Kak Helmi.
"Pluto kan udah bukan planet, ngapain digambar?" jawab Kak Helmi.
"Tapi kan cita-citaku menjadikan planet Pluto dianggap lagi sebagai tata surya. Harusnya digambar dong. Dia udah gabung jadi planet selama 76 tahun, walaupun posisinya paling belakang dan nggak keperhatiin sama matahari tapi dia tetep setia mengorbit pada matahari walau terkadang sering ngambil lintasan Neptunus. Bukankah itu merupakan bentuk kesetiaan?" jelasku.
"Tapi pihak astronomi bilang dia bukan lagi planet karena ukurannya kekecilan, dan dia tidak sepenuhnya mengelilingi matahari karena dia suka motong orbit Neptunus. Udahlah kita ngikutin pemikiran modern aja jangan kuno," Kak Helmi bersikeras tak mau menambah Pluto dalam gambarnya.
"Apa Kakak bilang? Aku kuno?" aku tersinggung.
"Aduh...aduh ini adek-adek, kakak pada pinter ya,tapi jangan gunain kepintaran kalian buat debat terus mojokint emennmya dong," Kak Chiko menghampiri kelompokku.
"Ini ni Kak, Kak Helmi gak mau masukin Pluto ke kerangka lukisan kita. Padahal kan dulu juga Pluto itu planet masa sekarang mau dihapuskan gitu aja?" aku mengadu.
 Kak Chiko tersenyum.
"Mau denger cerita Kakak gak?"
"Mau-mau...!" kami langsung antusias.
"Pada tanggal 24 Agustus 2006 sebenarnya pihak astronomi udah sepakat sama pluto kalo Pluto bakal dikontrak jadi guru."
"Guru? Maksudnya apa Kak?" Kak Restu bingung.
"Pluto udah dikontrak sama NASA buat ngajarin manusia kalo terkenal aja gak cukup. Jangan ingin dikenal banyak orang sementara dirimu belum banyak berkontribusi untuk dunia. Biarin aja orang-orang di luar sana nggak nganggap kamu ada, yang penting mereka merasakan kehadiranmu karena kamu berguna bagi mereka. SepertiSeperti Pluto yang tetep setia menghiasi Bima Sakti walau keberadaannya sebagai planet udah dianggap gak ada dan pada akhirnya dia menemukan teman baru yang lebih bisa memaknai kehadirannya, yaitu para asteroid yang sama imutnya sama pluto," lengang sejenak.
"Jadi sekarang ubah cita-citamu Rinta, yang semula 'menjadikan Pluto dianggap ' jadi 'hidup seperti Pluto,'" Kak Chiko meneruskan ceritanya.
"Lalu apakah kalian tahu kisah pemimpin serigala?" kami semua menggelengkan kepala.
"Serigala juga salah satu guru bagi manusia. Pemimpin serigala tidak mau dirinya hanya sekadar terkenal. Serigala-serigala lain mengakui keberadaan dirinya tapi ia ingin mereka merasakan kehadiran dirinya dengan menempatkan serigala lemah dan sakit di barisan paling belakang agar mereka tidak tertinggal. Dan di belakangnya ada serigala-serigala kuat yang melindungi. Berbeda dengan manusia, mereka yang masih mampu berdiri tegak yang malah memakan hak orang miskin dan lemah dan menempatkannya di paling belakang. Maksud Kakak, orang miskin jarang menjadi prioritas. Ketiga, ada masyarakat biasa. Lalu keempat ada serigala kuat lagi yang akan melindungi rakyat biasa dan terakhir pemimpin serigala. Ia gak mau dikenal warganya, mangkanya ia berada di posisi akhir tapi ia ingin warganya terlindungi dalam pantauan dirinya."
"Waah, serigala ternyata lebih hebat dari manusia, ya" Kak Restu terlihat kagum.
"Ya udah Kak aku berubah jadi serigala aja," seru Rendi.
"Sekarang aja udah kayak siluman serigala, kok," Kak Helmi menggoda Rendi
"Maksud kakak gini? Auuuu....." Rendi menirukan suara serigala.
"Nah, mirip!" ucap Kak Helmi.
"Hahahaha..." kami semua tertawa.
"Ah, kalian ini, jangan mau jadi serigala dong tapi jadilah pemimpin seperti pemimpin serigala," ujar Kak Chiko.
"Dengan biskuit semua bisa jadi serigala..." Rendi menirukan iklan biskuit
"Itu macan, dodol!" ucap kami kompak.
"Hahahaha...."

Penulis:

Amaturrahim Astutiningtyas, manusia yang mengenalnya biasa memanggilnya Tyas atau Amar tetapi ia lebih senang dipanggil Alien. Ditakdirkan oleh Tuhan terlahir di Bandung, 6 Juli 2003. Suka ice cream, membaca novel dan menulis tapi belum satu-pun karya tulisnya diterbitkan. 

--------

Baca info-info seputarbandungraya.com lainnya di GOOGLE NEWS