Pendidikan Karakter Generasi Muda VS Media Sosial





Pengaruh Medsos pada Anak-anak

Hasil survei program UNICEF tentang Digital Citizenship and Safety pada 2014 lalu, setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet, dan media digital saat ini menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan. Hasil studi menemukan bahwa 80 persen responden yang disurvei merupakan pengguna internet, dengan bukti kesenjangan digital yang kuat antara mereka yang tinggal di wilayah perkotaan dan lebih sejahtera di Indonesia, dengan mereka yang tinggal di daerah perdesaan (dan kurang sejahtera).

Mayoritas dari mereka yang disurvei telah menggunakan media online selama lebih dari satu tahun, dan hampir setengah dari mereka mengaku pertama kali belajar tentang internet dari teman. Studi ini mengungkapkan bahwa 69 persen responden menggunakan komputer untuk mengakses internet.

Sekitar sepertiga - 34 persen - menggunakan laptop, dan sebagian kecil - hanya 2 persen - terhubung melalui video game. Lebih dari setengah responden (52 persen) menggunakan ponsel untuk mengakses internet, namun kurang dari seperempat (21 persen) untuk smartphone dan hanya 4 persen untuk tablet.

Ketika anak berbaur di ranah digital
Program pemerintah untuk mengoptimalkan pendidikan karakter di kalangan generasi muda patut diapresiasi sebagai langkah membentuk arah generasi muda ke depan. Tujuan mulia ini tiada lain untuk membentuk generasi muda tangguh di tengah gempuran aneka tantangan di zaman globalisasi ini.

Kehadiran gawai dengan fasilitas akses internet membuka peluang bagi anak untuk menjelajahi ranah digital tanpa batas jarak dan waktu. Sisi postifinya, aneka informasi yang bermanfaat bisa diakses dan lebih mudah mencari sumber referensi pengetahuan atau keterampilan. Namun di sisi lain, hadirnya fasilitas ini menjadi bom waktu bagi kehidupan anak di masa depan.

Hal ini bisa berkaca pada kasus terbaru dimana pemerintah Indonesia harus memblokir sementara aplikasi Tik Tok karena rentan memberi pengaruh buruk pada anak-anak. Melalui aplikasi ini, memang pengguna bisa menyalurkan ekspresinya. Namun saat anak-anak yang notabene belum mampu menguasai akibat psikologis penggunaan aplikasi ini malah menimbulkan masalah baru. Lebih miris, mereka pun ikut berbaur dalam media ajang unjuk ekspresi tersebut dengan para orang dewasa.

Maka, benturan pun terjadi kala anak-anak sudah kebablasan dalam bertingkah di Tik Tok. Ketika ada anak yang bergaya di luar kewajaran seusia mereka, hantaman perundungan online pun menerpa mereka. Di sisi lain, orang-orang dewasa yang mem-bully mungkin kesal atau marah dengan kelakuan yang dianggap kurang terpuji tersebut. Di sisi lain, ada objek anak-anak yang seharusnya belum siap untuk menerima "serangan" cacian dan makian dari para orang dewasa tersebut.

Antara eksistensi dan bisnis
Fenomena lain yang timbul, aksi anak-anak di media sosial yang kurang terpuji tersebut malah kerap dimanfaatkan untuk mengatrol sisi pamor mereka. Jadi ada istilah "semakin banyak yang mem-bully, maka akan semakin terkenal". Ya, hukum media sosial memang seperti itu: semakin banyak disebut atau viral, maka pamor akan semakin melejit. Efeknya, bukan hanya di media sosial, karena sang anak viral, ia pun lalu diundang ke stasiun-stasiun televisi atau jadi berita utama di portal-portal online.

Lalu apa untungnya terkenal di media sosial? Bagi Anda yang punya followers ratusan ribu hingga jutaan adalah berkah tersendiri. Hal itu berkelindan dengan jurus promosi produk atau perusahaan. Mereka yang punya pengikut bejibun di Instagram atau punya penonton jutaan di Youtube biasa jadi publisher para pengiklan (advertiser). Entah itu dari pengiklan yang pesan langsung untuk promosi seperti di Instagram dengan jalur endorse, misalnya. Atau melalui melalui bandar periklanan online seperti Google AdSense dan sejenisnya.

Ya, nilai pamor sebuah akun memang berbanding dengan penghasilan. Di satu sisi ada yang naik pamornya dengan karya yang berkualitas, di sisi lain ada yang naik pamornya karena gimmick atau memposting hal-hal yang di luar kewajaran budaya masyarakat Timur. Dan, tak sedikit anak-anak pun yang punya cita-cita akunnya ingin jadi pendulang rupiah atau dollar. Walau di sisi lain, tak sedikit pula mereka bertingkah laku kurang wajar di medsos karena pengaruh lingkungan atau sekadar ikut-ikutan trend.

Indonesia darurat medsos
Subjudul ini bukan sekadar isapan jempol. Medsos memang di sisi lain memberi manfaat bagi mereka yang ingin berinterkasi sebagai manusia (media) sosial. Namun bagi generasi muda, khususnya anak-anak, pihak yang punya kebijakan seharusnya lebih melek dalam urusan ini. Ini menyangkut nasib dan karakter mereka di masa depan.

Apa sebab? Anak-anak Indonesia terlalu bebas dalam mengakses media sosial dan media lainnya yang sebetulnya hanya diperuntukkan bagi kaum dewasa. Beberapa peraturan di aplikasi-aplikasi media sosial rasanya tak ada yang membebaskan anak-anak untuk punya akun medsos. Dalam aturan online mereka, selalu ada batasan umur untuk mengakses aplikasi tersebut.

Tapi kenyataannya? Anak-anak punya ruang baru untuk sebebasnya mengakses dan berunjuk ekspresi di aplikasi media sosial yang sebenarnya belum pantas untuk seusia mereka. Ini sama halnya dengan anak-anak SD atau SMP yang sebebasnya membawa motor. Padahal dari segi psikologis, mereka belum waktunya. Juga dari ketentuan kepolisian pun mereka belum bisa dapat Surat Izin Mengemudi (SIM).

----
Artikel lainnya seputar Pendidikan Karakter LIHAT DI SINI
----

Jika hal ini terus dibiarkan, maka hal itu pun akan terus menjadi sebuah siklus, dimana selalu ada saja masalah, orang, atau tema baru yang menjadi bahan bullying di media sosial.  Bak pemain bulutangkis, pemerintah akan terus jadi penahan smash lawan. Reaksi masyarakat dan masalah baru bersumber dari media sosial akan selalu muncul. Untuk itu perlu adanya regulasi ketat mengenai hal ini.

Memang, ini butuh kerja sama semua pihak. Pihak pengembang aplikasi dituntut bukan terus mencari profit. Lalu, pihak televisi atau media online bukan terus mengejar rating atau berita viral. Para netizen pun tak melulu harus bereaksi kebablasan dengan mengeluarkan cacian, umpatan, atau bahasa kasar. Dan yang terpenting pihak orang tua (baca: keluarga) harus jadi benteng utama dalam urusan ini.

Peran penting orang tua/keluarga mengawasi anak menggunakan smartphone
Wahai para orang tua, jangan menganggap saat anak lama menatap layar smartphone mereka aman dengan asyik berdiam diri. Justru anak-anak sedang mulai masuk wahana baru yang bisa saja menghancurkan pola pikir, sisi etika, bahkan faham mereka. Mereka bisa saja sembunyi-sembunyi menari atau bernyanyi di depan HP dengan aksi yang tak pantas.

Juga mereka bisa saja tanpa sepengetahuan orang tua sedang asyik chatting dengan lawan jenis dan mengirim gambar tak senonoh. Mereka bisa saja lagi asyik mantengin Bigo atau Ome TV yang menyiarkan video call dimana ada saja lawan chat yang bertindak kurang terpuji. Atau para anak pun bisa saja sedang mencari gambar-gambar p*rno di akun-akun Instagram yang bertebaran secara bebas.

Jadi khusus para orang tua, di era kekinian tanggung jawab Anda lebih berat. Langkah Anda akan kalah cepat oleh anak-anak Anda dalam urusan media sosial atau hal lainnya yang berhubunga dengan internet. Kenali dan awasi mereka. Jangan sampai Anda bilang: "Peduli amat, kan saya generasi kolot yang gaptek pada urusan internet."

Ingat, bila anak Anda tidak diawasi, kehidupan mereka akan diambil oleh pengaruh-pengaruh negatif media sosial. Arahkan dan beri edukasi literasi online pada mereka. Pun lebih baik, bikin juga aturan bagi mereka agar para anak tersebut tidak kebablasan. Sebab, bahaya negatif media sosial dan aplikasi-aplikasi unjuk ekspresi tersebut selalu mengintai mereka bahkan tiap menit. (Akmal)

--------

Baca info-info seputarbandungraya.com lainnya di GOOGLE NEWS